Rabu, 09 Juli 2014

Resensi

Resensi adalah tulisan yang berisikan dan bertujuan memberikan informasi kepada pembaca mengenai layak dan tidaknya suatu buku dibaca

Dalam meresensi ada berbagai hal yang perlu diperhatikan. Dalam meresensi qt harus memberikan penilaian sejujur-jujurnya buku yang ingin kita bahas.

Unsur-unsur yang terdapat dalam resensi adalah:

1. Identitas buku
    Judul
    Pengarang
    Penerbit dan tahun terbit
    Tebal buku
    Harga
    Ilustrasi sampul

2. Pengkategorian jenis buku

3. Identitas pengarang (nama,profesi,prestasi,karya yang dihasilkan,dsb)

4. Analisis isi buku
    Buku nonfiksi (ilmiah) : sistematika penyajian bab
    Buku fiksi (non ilmiah) : Sinopsis dan anlisi unsur intrinsik seperti plot, penokohan,       setting,dsb

5. Keunggulan dan kelemahan isi buku

6. Perbandingan
    Membandingkan 2 buku sejenis, berbeda pengarang
    Membandingkan buku yang berbeda, tetapi satu pengarang
7. Tujuan penulis buku

8. Sasaran pembaca

9. Bahasa yang dipergunakan

10. Penutup/kesimpulan


Contoh resensi:

Judul: Maryamah Karpov
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: November 2008
Tebal: 504 halaman + xii


     Maryamah Karpov, buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata telah terbit. Apakah buku tersbut dapat menyaingi kesuksesan buku-buku sebelumnya? Ada baiknya kita lihat dulu resensinya. Resensi berikut bukan suatu yang mutak harus diterima semua kalangan, melainkan hanya sebagai patokan untuk para pembacanya.

      Benarkah kekuatan cinta mampu membuat manusia melakukan hal-hal di luar kewajaran sekaligus 'sinting' di mata orang-orang sekeliling? Di dalam novel Maryamah Karpov yang merupakan buku ke-4 dari Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini akan kalian dapatkan jawabnya. Buku ini menceritakan usaha Ikal sebagai tokoh sentral di dalam Tetralogi Laskar Pelangi untuk menemukan belahan jiwanya: A Ling. Setelah melanglang buana ke sana ke mari tanpa pernah menemukan petunjuk keberadaan A Ling rupanya Ikal tak pernah putus asa, ia terus mencari dan mencari tambatan hatinya itu.

       Di bagian awal buku diceritakan secara flashback kenangan masa kecil Ikal bersama keluarganya di Belitong. Sosok ayahnya yang pendiam tapi penuh kasih kepada keluarganya nampaknya memiliki porsi yang istimewa di buku ini. Sosok ayah ini pula yang menginspirasi Ikal untuk tidak menyerah pada nasib bahkan melecut semangatnya dalam mewujudkan mimpi-mimpi. Dalam salah satu bagian Andrea mengungkapkannya seperti ini:
"Jika dulu aku tak menegakkan sumpah untuk sekolah setinggi-tingginya demi martabat ayahku, aku dapat melihat diriku dengan terang sore ini; sedang berdiri dengan tubuh hitam kumal, yang kelihatan hanya mataku, memegang sekop menghadap gunungan timah, mengumpulkan napas, menghela tenaga, mencedokinya dari pukul delapan pagi sampai magrib, menggantikan tugas ayahku, yang dulu menggantikan tugas ayahnya. Aku menolak semua itu! Aku menolak perlakuan buruk nasib kepada ayahku dan kepada kaumku. Kini Tuhan telah memeluk mimpiku. Atas nama harkat kaumku, martabat ayahku, kurasakan dalam aliran darahku saat nasib membuktikan sifatnya yang hakiki bahwa ia akan memihak kepada para pemberani."

        Dikisahkan pula saat-saat terakhir Ikal menyelesaikan studinya di Perancis dan perjalanan kembali ke tanah air, serupa peribahasa 'setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya hinggap ke pelimbahan (kubangan) juga', seperti itulah yang dialami Ikal. Sejauh apa ia mampu mencapai sudut-sudut dunia dan memasuki pergaulan lintas bangsa toh akhirnya harus menerima kenyataan kembali ke lingkungan asal yang bersahaja. Di sini timbul ironi bahwa ilmu tingkat tinggi yang diperoleh dengan susah payah di Perancis ternyata tak membawa pengaruh signifikan bagi dirinya juga kampung halamannya.

         Kembali ke kampung halaman berarti berbaur dengan kultur nenek moyangnya. Serasa menemukan kembali mozaik-mozaik kenangan lama. Dengan gamblangnya bisa kita ketahui kebiasaan-kebiasaan orang Melayu Belitong, diantaranya adalah kebiasaan membual dan melebih-lebihkan cerita. Juga kebiasaan menyematkan nama baru di belakang nama asli, semata-mata untuk mengolok-olok bahkan merendahkan martabat yang empunya nama. Coba simak nama-nama unik berikut: Mahmuddin Berita Buruk, mendapatkan nama belakang seperti itu lantaran pekerjaannya sebagai tukang menyiarkan berita kematian lewat toa. Atau Marhaban Hormat Grak karena kebiasaannya menjadi komandan pasukan baris-berbaris di acara tujuh belasan, serta lebih banyak lagi nama-nama kocak lainnya lengkap dengan latar belakang diperolehnya nama tersebut. Tampaknya Andrea Hirata berhasil mengekspos sisi ini menjadi sebuah guyonan yang membikin pembaca tergelak.

        Yang paling mengesankan adalah pertemuan kembali dengan teman-teman lamanya yang tergabung dalam Laskar Pelangi. Mereka kini telah tumbuh dewasa dan masing-masing telah menemukan hidupnya. Sebuah ironi kembali dirasakan Ikal. Para sahabat Laskar Pelangi ini tak pernah pergi ke mana-mana, namun mereka telah menemukan hidup bahkan cinta sekaligus, sementara Ikal yang telah mencapai sudut-sudut dunia merasa tak menemukan apa-apa, tak juga cintanya.
Setelah belasan tahun berlalu, persahabatan mereka tetap abadi bahkan dalam setiap kesulitan yang dihadapi Ikal, sahabat-sahabatnyalah yang jadi juru selamat. 'That's what friends are for', sesuai dengan ungkapan yang dicuplik dari sebuah lirik lagu.

         Titik terang keberadaan A Ling mulai terlihat setelah seorang nelayan menemukan sejumlah mayat mengambang di laut. Tanda fisik berupa tato kupu-kupu hitam di tubuh mayat mengingatkan Ikal pada sosok kekasihnya itu yang ternyata memiliki tanda serupa.
         Berdasarkan analisa dan insting maka sampailah Ikal pada sebuah dugaan, A Ling berada di Pulau Batuan, sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang sangat strategis bagi para pendatang haram untuk menyeberang ke Singapura. Di sekitar pulau inilah berkuasa para lanun (bajak laut) yang terkenal bengis dan tak segan mencabut nyawa orang.

         Bukan perkara mudah untuk mencapai Pulau Batuan karena tiada satu pun perahu nelayan yang berani melaut ke sana, tidak juga untuk sekadar mendekati. Satu-satunya cara adalah membuat perahu sendiri, tetapi mungkinkah itu? Diperlukan bukan hanya uang dan tenaga tapi juga keahlian membuat perahu. Meleset sedikit saja perhitungan, perahu bukannya meluncur di air malah membatu dan tenggelam. Dan untuk yang satu ini rupanya Ikal tak punya keahlian sama sekali.
         Namun bukan Ikal namanya kalau gampang menyerah. Demi A Ling apa pun dan siapa pun tak akan mampu menghalangi tekadnya yang telah membatu itu. Dari sinilah kawan, kesulitan demi kesulitan menghadangnya, bahkan tak sedikit orang-orang di sekitar mencapnya sinting. Ikal menghadapi sebuah pertaruhan besar dan bertekad untuk memenangkannya. Sekali lagi pertolongan dari sahabat sejati terutama Lintang dan Mahar yang membuatnya lolos dari kesulitan-kesulitan itu.

Novel ini rupanya ingin menggaris bawahi sebuah pesan, janganlah engkau takut bermimpi. Tiada sesuatu hal yang mustahil dilakukan asal dilakukan dengan tekad baja dan semangat pantang menyerah, karena bukankah Tuhan selalu beserta para pemberani?
         Kata demi kata mengalir bak sihir seperti melarang kita menutup buku, menyudahi membaca sebelum mencapai kata akhir. Inilah kepiawaian Andrea dalam memilih kata-kata yang telah teruji di 3 buku sebelumnya.

         Tentu saja tiada gading yang tak retak, seperti juga dengan buku Maryamah Karpov ini. Ada beberapa hal yang mengganjal setelah selesai membaca, antara lain tidak ditemukannya hubungan langsung antara judul dan bangunan cerita secara keseluruhan. Maryamah Karpov di sini digambarkan sebagai seorang perempuan yang biasa dipanggil mak cik, mendapat tambahan nama belakang karena sering terlihat di perkumpulan jago-jago catur di warung kopi Usah Kau Kenang Lagi dan mengajari orang langkah-langkah a la Karpov. Nama ini terkesan tempelan saja, artinya tanpa tokoh ini pun tak akan mengubah jalan cerita. Aku menghitung tidak lebih hanya 3 kali saja nama perempuan ini disebut. Entah alasan apa yang membuat Andrea Hirata memberi judul seperti itu. Aku rasa judul Mimpi-Mimpi Lintang jauh lebih sesuai.

         Ada juga hal yang ganjil pada saat Ikal menemukan bangkai perahu lanun di dasar sungai Linggang. Keputusan untuk meng'kanibal'kan material kayu kapal lanun demi menyempurnakan haluan perahu Mimpi-Mimpi Lintang—Ikal memberi nama perahunya seperti itu untuk menghormati sahabatnya—rasanya sesuatu yang tak masuk di akal. Mana mungkin seorang Ikal yang notabene seorang berpendidikan tinggi mengabaikan nilai historis sebuah perahu yang telah karam ratusan tahun lalu hanya demi ambisi membangun perahu baru.

         Terlepas dari adanya beberapa kekurangan di atas, buku ini tentu mempunyai banyak keistimewaan dan memang layak menjadi bacaan wajib terutama bagi teman-teman yang sudah membaca 3 buku sebelumnya sekaligus untuk menjawab pertanyaan berikut:
Mampukah Ikal menemukan A Ling? Dan bagaimanakah akhir kisah cinta dua anak manusia ini, bisakah mereka bersatu dalam maghligai rumah tangga? Jawabannya bisa kalian dapatkan setelah membaca buku setebal 504 halaman ini. Selamat membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar