Resensi
adalah tulisan yang berisikan dan bertujuan memberikan informasi kepada pembaca
mengenai layak dan tidaknya suatu buku dibaca
Dalam
meresensi ada berbagai hal yang perlu diperhatikan. Dalam meresensi qt harus
memberikan penilaian sejujur-jujurnya buku yang ingin kita bahas.
Unsur-unsur
yang terdapat dalam resensi adalah:
1.
Identitas buku
Judul
Pengarang
Penerbit
dan tahun terbit
Tebal
buku
Harga
Ilustrasi
sampul
2.
Pengkategorian jenis buku
3.
Identitas pengarang (nama,profesi,prestasi,karya yang dihasilkan,dsb)
4.
Analisis isi buku
Buku
nonfiksi (ilmiah) : sistematika penyajian bab
Buku
fiksi (non ilmiah) : Sinopsis dan anlisi unsur intrinsik seperti plot,
penokohan, setting,dsb
5.
Keunggulan dan kelemahan isi buku
6.
Perbandingan
Membandingkan
2 buku sejenis, berbeda pengarang
Membandingkan
buku yang berbeda, tetapi satu pengarang
7.
Tujuan penulis buku
8.
Sasaran pembaca
9.
Bahasa yang dipergunakan
10.
Penutup/kesimpulan
Contoh
resensi:
Judul: Maryamah Karpov
Penulis:
Andrea Hirata
Penerbit:
Bentang Pustaka
Cetakan:
November 2008
Tebal:
504 halaman + xii
Maryamah
Karpov, buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata
telah terbit. Apakah buku tersbut dapat menyaingi kesuksesan buku-buku
sebelumnya? Ada baiknya kita lihat dulu resensinya. Resensi berikut bukan suatu
yang mutak harus diterima semua kalangan, melainkan hanya sebagai patokan untuk
para pembacanya.
Benarkah
kekuatan cinta mampu membuat manusia melakukan hal-hal di luar kewajaran
sekaligus 'sinting' di mata orang-orang sekeliling? Di dalam novel Maryamah
Karpov yang merupakan buku ke-4 dari Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata ini akan kalian dapatkan jawabnya. Buku ini menceritakan usaha Ikal
sebagai tokoh sentral di dalam Tetralogi Laskar Pelangi untuk menemukan belahan
jiwanya: A Ling. Setelah melanglang buana ke sana ke mari tanpa pernah
menemukan petunjuk keberadaan A Ling rupanya Ikal tak pernah putus asa, ia
terus mencari dan mencari tambatan hatinya itu.
Di
bagian awal buku diceritakan secara flashback kenangan masa kecil Ikal bersama
keluarganya di Belitong. Sosok ayahnya yang pendiam tapi penuh kasih kepada
keluarganya nampaknya memiliki porsi yang istimewa di buku ini. Sosok ayah ini
pula yang menginspirasi Ikal untuk tidak menyerah pada nasib bahkan melecut
semangatnya dalam mewujudkan mimpi-mimpi. Dalam salah satu bagian Andrea
mengungkapkannya seperti ini:
"Jika
dulu aku tak menegakkan sumpah untuk sekolah setinggi-tingginya demi martabat
ayahku, aku dapat melihat diriku dengan terang sore ini; sedang berdiri dengan
tubuh hitam kumal, yang kelihatan hanya mataku, memegang sekop menghadap
gunungan timah, mengumpulkan napas, menghela tenaga, mencedokinya dari pukul
delapan pagi sampai magrib, menggantikan tugas ayahku, yang dulu menggantikan
tugas ayahnya. Aku menolak semua itu! Aku menolak perlakuan buruk nasib kepada
ayahku dan kepada kaumku. Kini Tuhan telah memeluk mimpiku. Atas nama harkat
kaumku, martabat ayahku, kurasakan dalam aliran darahku saat nasib membuktikan
sifatnya yang hakiki bahwa ia akan memihak kepada para pemberani."
Dikisahkan
pula saat-saat terakhir Ikal menyelesaikan studinya di Perancis dan perjalanan
kembali ke tanah air, serupa peribahasa 'setinggi-tinggi bangau terbang,
akhirnya hinggap ke pelimbahan (kubangan) juga', seperti itulah yang dialami
Ikal. Sejauh apa ia mampu mencapai sudut-sudut dunia dan memasuki pergaulan
lintas bangsa toh akhirnya harus menerima kenyataan kembali ke lingkungan asal
yang bersahaja. Di sini timbul ironi bahwa ilmu tingkat tinggi yang diperoleh
dengan susah payah di Perancis ternyata tak membawa pengaruh signifikan bagi
dirinya juga kampung halamannya.
Kembali
ke kampung halaman berarti berbaur dengan kultur nenek moyangnya. Serasa
menemukan kembali mozaik-mozaik kenangan lama. Dengan gamblangnya bisa kita
ketahui kebiasaan-kebiasaan orang Melayu Belitong, diantaranya adalah kebiasaan
membual dan melebih-lebihkan cerita. Juga kebiasaan menyematkan nama baru di
belakang nama asli, semata-mata untuk mengolok-olok bahkan merendahkan martabat
yang empunya nama. Coba simak nama-nama unik berikut: Mahmuddin Berita Buruk,
mendapatkan nama belakang seperti itu lantaran pekerjaannya sebagai tukang
menyiarkan berita kematian lewat toa. Atau Marhaban Hormat Grak karena
kebiasaannya menjadi komandan pasukan baris-berbaris di acara tujuh belasan,
serta lebih banyak lagi nama-nama kocak lainnya lengkap dengan latar belakang
diperolehnya nama tersebut. Tampaknya Andrea Hirata berhasil mengekspos sisi
ini menjadi sebuah guyonan yang membikin pembaca tergelak.
Yang
paling mengesankan adalah pertemuan kembali dengan teman-teman lamanya yang
tergabung dalam Laskar Pelangi. Mereka kini telah tumbuh dewasa dan
masing-masing telah menemukan hidupnya. Sebuah ironi kembali dirasakan Ikal.
Para sahabat Laskar Pelangi ini tak pernah pergi ke mana-mana, namun mereka
telah menemukan hidup bahkan cinta sekaligus, sementara Ikal yang telah
mencapai sudut-sudut dunia merasa tak menemukan apa-apa, tak juga cintanya.
Setelah
belasan tahun berlalu, persahabatan mereka tetap abadi bahkan dalam setiap
kesulitan yang dihadapi Ikal, sahabat-sahabatnyalah yang jadi juru selamat.
'That's what friends are for', sesuai dengan ungkapan yang dicuplik dari sebuah
lirik lagu.
Titik
terang keberadaan A Ling mulai terlihat setelah seorang nelayan menemukan
sejumlah mayat mengambang di laut. Tanda fisik berupa tato kupu-kupu hitam di
tubuh mayat mengingatkan Ikal pada sosok kekasihnya itu yang ternyata memiliki
tanda serupa.
Berdasarkan
analisa dan insting maka sampailah Ikal pada sebuah dugaan, A Ling berada di
Pulau Batuan, sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang sangat strategis bagi para
pendatang haram untuk menyeberang ke Singapura. Di sekitar pulau inilah
berkuasa para lanun (bajak laut) yang terkenal bengis dan tak segan mencabut
nyawa orang.
Bukan
perkara mudah untuk mencapai Pulau Batuan karena tiada satu pun perahu nelayan
yang berani melaut ke sana, tidak juga untuk sekadar mendekati. Satu-satunya
cara adalah membuat perahu sendiri, tetapi mungkinkah itu? Diperlukan bukan hanya
uang dan tenaga tapi juga keahlian membuat perahu. Meleset sedikit saja
perhitungan, perahu bukannya meluncur di air malah membatu dan tenggelam. Dan
untuk yang satu ini rupanya Ikal tak punya keahlian sama sekali.
Namun
bukan Ikal namanya kalau gampang menyerah. Demi A Ling apa pun dan siapa pun
tak akan mampu menghalangi tekadnya yang telah membatu itu. Dari sinilah kawan,
kesulitan demi kesulitan menghadangnya, bahkan tak sedikit orang-orang di
sekitar mencapnya sinting. Ikal menghadapi sebuah pertaruhan besar dan bertekad
untuk memenangkannya. Sekali lagi pertolongan dari sahabat sejati terutama
Lintang dan Mahar yang membuatnya lolos dari kesulitan-kesulitan itu.
Novel
ini rupanya ingin menggaris bawahi sebuah pesan, janganlah engkau takut
bermimpi. Tiada sesuatu hal yang mustahil dilakukan asal dilakukan dengan tekad
baja dan semangat pantang menyerah, karena bukankah Tuhan selalu beserta para
pemberani?
Kata
demi kata mengalir bak sihir seperti melarang kita menutup buku, menyudahi
membaca sebelum mencapai kata akhir. Inilah kepiawaian Andrea dalam memilih
kata-kata yang telah teruji di 3 buku sebelumnya.
Tentu
saja tiada gading yang tak retak, seperti juga dengan buku Maryamah Karpov ini.
Ada beberapa hal yang mengganjal setelah selesai membaca, antara lain tidak
ditemukannya hubungan langsung antara judul dan bangunan cerita secara
keseluruhan. Maryamah Karpov di sini digambarkan sebagai seorang perempuan yang
biasa dipanggil mak cik, mendapat tambahan nama belakang karena sering terlihat
di perkumpulan jago-jago catur di warung kopi Usah Kau Kenang Lagi dan
mengajari orang langkah-langkah a la Karpov. Nama ini terkesan tempelan saja,
artinya tanpa tokoh ini pun tak akan mengubah jalan cerita. Aku menghitung
tidak lebih hanya 3 kali saja nama perempuan ini disebut. Entah alasan apa yang
membuat Andrea Hirata memberi judul seperti itu. Aku rasa judul Mimpi-Mimpi
Lintang jauh lebih sesuai.
Ada
juga hal yang ganjil pada saat Ikal menemukan bangkai perahu lanun di dasar
sungai Linggang. Keputusan untuk meng'kanibal'kan material kayu kapal lanun
demi menyempurnakan haluan perahu Mimpi-Mimpi Lintang—Ikal memberi nama
perahunya seperti itu untuk menghormati sahabatnya—rasanya sesuatu yang tak
masuk di akal. Mana mungkin seorang Ikal yang notabene seorang berpendidikan
tinggi mengabaikan nilai historis sebuah perahu yang telah karam ratusan tahun
lalu hanya demi ambisi membangun perahu baru.
Terlepas
dari adanya beberapa kekurangan di atas, buku ini tentu mempunyai banyak
keistimewaan dan memang layak menjadi bacaan wajib terutama bagi teman-teman
yang sudah membaca 3 buku sebelumnya sekaligus untuk menjawab pertanyaan
berikut:
Mampukah
Ikal menemukan A Ling? Dan bagaimanakah akhir kisah cinta dua anak manusia ini,
bisakah mereka bersatu dalam maghligai rumah tangga? Jawabannya bisa kalian
dapatkan setelah membaca buku setebal 504 halaman ini. Selamat membaca!